16 April 2014

Menikmati Sajian Bernama Paris

| Bagian 1 #Eurotrip, Maret 2014 |

“Do you live here?”
“No, I’m on holiday.”
“Alone?”

“Yes.”

“Really? Alone?”
“Yes.”
"Do you want me to take more pictures of you?”

Agaknya menjelajah kota Paris sendirian bukanlah pilihan yang umum. Ya, saya langsung menyadarinya ketika meminta bantuan seorang turis dari Malaysia untuk mengambil foto saya di depan Eiffel dan ia langsung berinisiatif memotret beberapa kali begitu tahu saya sendirian. Iba mungkin? J

Buat saya yang punya reputasi buta arah, menjelajah Eropa sendirian adalah sebuah ambisi maha penting. Walaupun tentunya sebuah keputusan mengkhawatirkan buat sebagian orang di sekitar saya. Padahal, bukankah lebih masuk akal buat orang Jakarta menjelajah Paris sendirian dibandingkan orang Paris menjelajah Jakarta sendirian? Di kepala saya, survival chance saya lebih besar. Bayangkan turis dari Perancis terdampar di terminal Kampung Melayu, tak ada petugas, tak ada orang yang bisa bahasa Inggris, tak ada petunjuk jalan, dikerubutin tukang ojek dan copet pula. Nah!

The majestic Eiffel Tower
Bukan berarti Paris tak ada tantangannya. Banyak.

Menikmati romansa kota Paris sendirian sambil dikelilingi para honeymooners dan ribuan pasangan lainnya adalah resiko tak terhindarkan. Menggigil gemeteran di bawah Eiffel Tower atau di tepi danau di Chateau de Versailles bersama pasangan adalah romantis sebenar-benarnya. Sendirian ditemani tolak angin? (Ah, sudahlah)

Copet dan penipu turis adalah tantangan berikutnya. Metro (kereta bawah tanah) dan tempat-tempat wisata menjadi sarang utama. Kuncinya: a little research goes a long way. Untuk yang satu ini, internet dan serial TV Scam City—acara undercover menguak aksi penipuan turis di berbagai kota tujuan wisata—di National Geographic terbukti amat membantu. Dan ya, saya benar-benar menemukan semua aksi penipuan tersebut selama di Paris. Oya, yang tak kalah penting, saya juga bersyukur besar di Jakarta yang rawan penipuan. Mengapa? Karena ternyata, saya cenderung akan mewaspadai orang yang tiba-tiba mendekati dan mengajak ngobrol. Naluri yang terbukti bermanfaat.

Ingat adegan penutup di film The Da Vinci Code? Nah ini dia lokasinya, Musee du Louvre.
Kabarnya, museum ini pernah terpaksa ditutup karena banyaknya copet berkeliaran.

Salah satu tempat favorit saya: Montmartre, kawasan tertinggi di Paris.
Lokasi gereja Basilique du Sacre Coeur yang dikelilingi berbagai kafe, restoran dan toko-toko souvenir.

Jauhi keramaian dan susuri jalan-jalan sepi turis di Montmartre. Voila! Anda akan menemukan
bangunan serta toko-toko cantik memanjakan mata. Kiri atas: La Maison Rose (the Pink House),
restoran tempat 'nongkrong' pelukis legendaris Picasso

Menaklukkan metro Paris pun sebuah tantangan tersendiri. Tapi percayalah, ini tantangan favorit saya yang memang agak terobsesi mencoba setiap jaringan metro dalam setiap perjalanan. Mulai dari Bangkok, Singapura, Hongkong hingga Kolkata India. Sejauh ini, jaringan metro di Paris jelas yang terbesar dan terumit yang pernah saya gunakan. Tapi anehnya, sekaligus cukup mudah untuk digunakan berkat lengkapnya petunjuk di setiap stasiun. Kalau ingin merasakan kehidupan warga Paris—sedikit terbebas dari hiruk pikuk turisme—gunakan metro dan mulai bereksplorasi. Pilih tujuan terjauh, turunlah di stasiun paling ujung, dan habiskan waktu berkeliling. Priceless!

Bahasa bisa jadi kendala berikutnya. Orang Perancis terkenal enggan menggunakan Bahasa Inggris. Mungkin hal ini bisa terjadi jika Anda bertanya arah (atau hal lainnya) pada sembarang warga lokal. Triknya: bertanyalah pada orang yang tepat. Berdasarkan pengalaman, semua pekerja dan petugas yang melayani di tempat-tempat umum (stasiun, dalam kereta) dan tempat-tempat wisata bisa dan akan berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan warga asing. Termasuk para pemilik toko souvenir dan restoran di area turis yang didominasi imigran. Walaupun tentunya ada pengecualian: segelintir petugas kereta di jaringan luar kota Paris. Seperti yang saya alami saat berkereta ke Chateau de Versailles. Di tengah jalan, petugas meminta semua penumpang pindah kereta ke jalur sebaliknya. Saat saya dan turis asing lain bertanya ke mana kami harus pindah (dalam bahasa Inggris), dengan cueknya sang petugas menjelaskan panjang lebar dalam bahasa Perancis. Tiga kali kami bertanya, tiga kali pula ia menjawab dalam bahasa Perancis. Oui, Monsieur!

Tapi tak ada yang mengalahkan tantangan satu ini: angin dingin menusuk! Walaupun sudah memasuki musim semi dan sinar matahari cukup berlimpah, Paris di bulan Maret masih cenderung dingin, berangin kencang dan sesekali hujan. Suhu di siang hari berkisar 7-10°C, turun hingga 4°C di malam dan pagi hari. Buat saya yang berdarah tropis lahir batin, angin dingin di Paris masuk kategori B.R.U.T.A.L. Rasanya? Kulit macam ditusuk-tusuk ribuan serpihan es. Bayangkan kebrutalan itu mendera selama berjam-jam non-stop, mulai dari lepas tengah hari hingga malam. Ya Tuhaan…

------------------------------

Apakah semua itu mengurangi keindahan dan romansa Paris yang selama ini tersaji sempurna dalam gambar-gambar kartu pos? Apa kemudian perjalanan saya jadi kurang menyenangkan? Ah, agak terlalu kalau saya sampai bilang ya. Faktanya memang tak ada yang berkurang sama sekali.

Atas nama optimisme, saya selalu berprinsip: “Beauty lies in the eye of the beholder”. Semua tergantung Anda. Buat saya, keindahan dan romansa itu muncul dalam momen sederhana; situasi di mana saya merasa seperti bagian dari kota Paris itu sendiri. Live and breathe the city. 

Sesederhana saat akhirnya bisa mengistirahatkan kaki yang lelah di dalam metro sambil mengamati para penumpang dan menikmati Parisian chicness. Atau, saat tersesat di jalan sempit, lapar dan mendadak menemukan patisserie mungil-murah-yummy dengan penjaga toko yang hanya berbahasa Perancis. Ketika menghabiskan 2 jam penuh berdiri membeku diterpa angin demi menikmati cantiknya kota dari kapal yang menyusuri Seine River. Termasuk, saat tak sengaja terjebak dalam diskusi buku di halaman toko buku legendaris Shakespeare & Company. Walaupun sudah malam, dingin dan lelah sehabis berkeliling seharian, saya tetap bertekad mampir. Apa daya, pengunjung diharuskan duduk di luar, menunggu sambil menyimak diskusi selama 45 menit. Di bawah gerimis.


But hey, am in Paris!

Must do: Seine River Cruise. Pilihan saya? Batobus, kapal dengan konsep hop on hop off.
Dengan tiket yang berlaku 1 atau 2 hari, bisa bebas naik turun sepuasnya di 8 perhentian. 

The Seine..under the gloomy sky

Napak tilas film "Before Sunset". Di Shakespeare & Company Bookstore ini karakter Ethan Hawke & Julie Delpy
bertemu lagi setelah 9 tahun. Oya, kurang lengkap kalau pulang tanpa oleh-oleh buku.

Pada akhirnya, Paris tak hanya Eiffel, museum-museum ternama dan gereja-gereja megah. Menikmati Paris adalah menikmati pula semua hal yang terjadi di luar rencana yang sudah disusun. Semua hal yang tak tertangkap kamera. Semua hal yang tak tersaji di film, majalah, dan kartu pos. 

Termasuk angin dingin brutal sekalipun.


'Cause YES...I am indeed in Paris! 


***

2 comments:

  1. Kereeeennn laa...tulisan dan foto2nya yahud!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aiihh..yahud! Thanks Ndah, nantikan lanjutannya :D

      Delete