| Bagian 1 #Eurotrip, Maret 2014 |
“Do you live here?”
“No, I’m on holiday.”
“Alone?”
“Yes.”
“Really? Alone?”
“Yes.”
"Do you want me to take more pictures of you?”
Agaknya menjelajah kota Paris sendirian bukanlah pilihan yang
umum. Ya, saya langsung menyadarinya ketika meminta bantuan seorang turis dari
Malaysia untuk mengambil foto saya di depan Eiffel dan ia langsung berinisiatif
memotret beberapa kali begitu tahu saya sendirian. Iba mungkin? J
Buat saya yang punya reputasi buta arah, menjelajah Eropa
sendirian adalah sebuah ambisi maha penting. Walaupun tentunya sebuah keputusan
mengkhawatirkan buat sebagian orang di sekitar saya. Padahal, bukankah lebih
masuk akal buat orang Jakarta menjelajah Paris sendirian dibandingkan orang
Paris menjelajah Jakarta sendirian? Di kepala saya, survival chance saya lebih besar. Bayangkan turis dari Perancis
terdampar di terminal Kampung Melayu, tak ada petugas, tak ada orang yang bisa
bahasa Inggris, tak ada petunjuk jalan, dikerubutin tukang ojek dan copet pula.
Nah!
Menikmati romansa kota Paris sendirian sambil dikelilingi
para honeymooners dan ribuan pasangan
lainnya adalah resiko tak terhindarkan. Menggigil gemeteran di bawah Eiffel
Tower atau di tepi danau di Chateau de Versailles bersama pasangan adalah
romantis sebenar-benarnya. Sendirian ditemani tolak angin? (Ah, sudahlah)
Copet dan penipu turis adalah tantangan berikutnya. Metro (kereta
bawah tanah) dan tempat-tempat wisata menjadi sarang utama. Kuncinya: a little research goes a long way. Untuk
yang satu ini, internet dan serial TV Scam City—acara undercover menguak aksi
penipuan turis di berbagai kota tujuan wisata—di National Geographic terbukti
amat membantu. Dan ya, saya benar-benar menemukan semua aksi penipuan tersebut selama
di Paris. Oya, yang tak kalah penting, saya juga bersyukur besar di Jakarta
yang rawan penipuan. Mengapa? Karena ternyata, saya cenderung akan mewaspadai orang
yang tiba-tiba mendekati dan mengajak ngobrol. Naluri yang terbukti bermanfaat.
![]() |
Ingat adegan penutup di film The Da Vinci Code? Nah ini dia lokasinya, Musee du Louvre. Kabarnya, museum ini pernah terpaksa ditutup karena banyaknya copet berkeliaran. |
![]() |
Salah satu tempat favorit saya: Montmartre, kawasan tertinggi di Paris. Lokasi gereja Basilique du Sacre Coeur yang dikelilingi berbagai kafe, restoran dan toko-toko souvenir. |
Menaklukkan metro Paris pun sebuah tantangan tersendiri. Tapi percayalah, ini tantangan favorit saya yang memang agak terobsesi mencoba
setiap jaringan metro dalam setiap perjalanan. Mulai dari Bangkok, Singapura, Hongkong hingga Kolkata India. Sejauh ini, jaringan metro di Paris jelas yang
terbesar dan terumit yang pernah saya gunakan. Tapi anehnya, sekaligus cukup
mudah untuk digunakan berkat lengkapnya petunjuk di setiap stasiun. Kalau ingin
merasakan kehidupan warga Paris—sedikit terbebas dari hiruk pikuk
turisme—gunakan metro dan mulai bereksplorasi. Pilih tujuan terjauh, turunlah
di stasiun paling ujung, dan habiskan waktu berkeliling. Priceless!
Bahasa bisa jadi kendala berikutnya. Orang Perancis terkenal
enggan menggunakan Bahasa Inggris. Mungkin hal ini bisa terjadi jika Anda bertanya arah (atau hal lainnya) pada sembarang warga lokal. Triknya: bertanyalah pada orang yang tepat. Berdasarkan pengalaman,
semua pekerja dan petugas yang melayani di tempat-tempat umum (stasiun, dalam
kereta) dan tempat-tempat wisata bisa dan akan berkomunikasi dalam bahasa
Inggris dengan warga asing. Termasuk para pemilik toko souvenir dan restoran di
area turis yang didominasi imigran. Walaupun
tentunya ada pengecualian: segelintir petugas kereta di jaringan luar kota Paris.
Seperti yang saya alami saat berkereta ke Chateau de Versailles. Di tengah jalan, petugas meminta semua penumpang pindah kereta ke jalur sebaliknya. Saat saya
dan turis asing lain bertanya ke mana kami harus pindah (dalam bahasa Inggris), dengan cueknya sang petugas
menjelaskan panjang lebar dalam bahasa Perancis. Tiga kali kami bertanya, tiga kali pula ia menjawab dalam bahasa Perancis. Oui, Monsieur!
Tapi tak ada yang mengalahkan tantangan satu ini: angin
dingin menusuk! Walaupun sudah memasuki musim semi dan sinar matahari cukup berlimpah, Paris di bulan Maret masih cenderung
dingin, berangin kencang dan sesekali hujan. Suhu di siang hari berkisar 7-10°C, turun hingga 4°C di malam dan pagi hari. Buat saya yang
berdarah tropis lahir batin, angin dingin di Paris masuk kategori B.R.U.T.A.L.
Rasanya? Kulit macam ditusuk-tusuk ribuan serpihan es. Bayangkan kebrutalan itu
mendera selama berjam-jam non-stop, mulai dari lepas tengah hari hingga malam. Ya
Tuhaan…
------------------------------
Apakah semua itu mengurangi keindahan dan romansa Paris yang selama ini tersaji sempurna dalam gambar-gambar kartu pos? Apa kemudian perjalanan saya jadi kurang menyenangkan? Ah, agak terlalu kalau saya sampai bilang ya.
Faktanya memang tak ada yang berkurang sama sekali.
Atas nama optimisme, saya selalu berprinsip: “Beauty lies
in the eye of the beholder”. Semua tergantung Anda. Buat saya, keindahan dan romansa itu muncul dalam momen sederhana; situasi di mana saya merasa seperti bagian dari kota Paris itu sendiri. Live and breathe the city.
Sesederhana saat akhirnya bisa mengistirahatkan kaki yang lelah di dalam metro sambil mengamati para penumpang dan menikmati Parisian chicness. Atau, saat tersesat di jalan sempit, lapar dan mendadak menemukan
patisserie mungil-murah-yummy dengan penjaga toko yang hanya berbahasa
Perancis. Ketika menghabiskan 2 jam penuh berdiri membeku diterpa angin demi menikmati cantiknya kota dari kapal yang menyusuri Seine River. Termasuk, saat tak sengaja
terjebak dalam diskusi buku di halaman toko buku legendaris Shakespeare &
Company. Walaupun sudah malam, dingin dan lelah sehabis berkeliling seharian, saya tetap bertekad mampir. Apa daya, pengunjung diharuskan duduk di luar, menunggu
sambil menyimak diskusi selama 45 menit. Di bawah gerimis.
But hey, am in Paris!
![]() |
Must do: Seine River Cruise. Pilihan saya? Batobus, kapal dengan konsep hop on hop off. Dengan tiket yang berlaku 1 atau 2 hari, bisa bebas naik turun sepuasnya di 8 perhentian. |
![]() |
Napak tilas film "Before Sunset". Di Shakespeare & Company Bookstore ini karakter Ethan Hawke & Julie Delpy bertemu lagi setelah 9 tahun. Oya, kurang lengkap kalau pulang tanpa oleh-oleh buku. |
Pada akhirnya, Paris tak hanya Eiffel, museum-museum ternama dan gereja-gereja megah. Menikmati Paris adalah menikmati pula semua hal yang terjadi di luar rencana
yang sudah disusun. Semua hal yang tak tertangkap kamera. Semua hal yang tak
tersaji di film, majalah, dan kartu pos.
Termasuk angin dingin brutal sekalipun.
'Cause YES...I am indeed in Paris!
***
Kereeeennn laa...tulisan dan foto2nya yahud!
ReplyDeleteAiihh..yahud! Thanks Ndah, nantikan lanjutannya :D
Delete