| Bagian 4 #Eurotrip, Maret 2014 |
Seperti semua hal tentang Paris yang identik dengan
romantisme, berkeliling The City of Light
dengan metro pun jadi pengalaman yang romantis buat saya. Ya, saya senorak itu
memang.
Berkeliling Paris sudah paling pas menggunakan metro. Murah dan mudah, cocok buat budget traveler macam saya. Modalnya cuma peta, semangat dan batere buat kaki!
Jaringannya yang luas memudahkan kita menjelajahi Paris dari ujung ke ujung. Asiknya
lagi, stasiun metro biasanya bisa ditemukan tak jauh dari beragam objek wisata
terkenal di kota itu.
“You can't understand a city without using its public transportation
system” – Erol Ozan
Nah, alasan tepat untuk mencoba bukan?
Pengamatan pertama, Paris itu memang sebuah melting pot! Kota satu ini dihuni banyak
imigran, termasuk yang sudah menetap hingga beberapa generasi. Adalah pemandangan umum
menemukan beragam penumpang berwajah Arab, Afrika hingga Asia yang
asik mengobrol dalam bahasa Perancis. Berada di antara mereka terkadang jadi
lupa sendiri, saya tuh lagi di mana ya sebenarnya?
Ah, indah kalau melihat
keragaman seperti itu, dunia rasanya jadi tak bersekat-sekat.
Keliatannya, iPod dan gadget sejenisnya jadi barang wajib di sini. Hampir semua penumpang asik sendiri mendengarkan musik selama perjalanan. Kalau dibandingkan, penumpang MRT di Singapura kebanyakan justru menonton film atau main games di gadget mereka. Sedangkan di Jakarta, aktivitas favorit selain mendengarkan musik adalah tidur!
Salah satu pemandangan favorit saya adalah banyaknya
ibu-ibu muda yang bepergian seorang diri sambil membawa bayi mereka dalam stroller. Tampilan mereka pun chic ala Parisian lain. Wah, gak kebayang perjuangannya naik turun tangga stasiun metro sambil angkat-angkat stroller.
Fakta Paris kebanjiran jutaan turis setiap tahunnya mungkin
berkah sekaligus bencana buat pemerintah kota. Aksi copet pun merajalela, termasuk di Paris Metro. Sialnya, target favorit mereka adalah turis Asia
yang punya kebiasaan membawa uang tunai dalam jumlah besar. Harap maklum, di
Paris dan kota-kota besar di Eropa, kartu kredit/debit adalah pilihan utama untuk transaksi sehari-hari. Kalaupun harus membawa uang, jarang banget yang membawa pecahan besar. Bahkan, masih ada kasir toko dan restoran yang mendelik kesal atau menolak saat kita menyodorkan lembaran 100 Euro. Nah, kebayang kan betapa girangnya para copet itu
ketemu turis Asia yang cuek banget bawa ratusan bahkan ribuan Euro di dompet?
![]() |
Peron di stasiun Charles de Gaulle Etoile |
Hari pertama saya di Paris, langsung heboh gara-gara
bertemu kawanan pencopet. Bentukannya? Sekumpulan cewek-cewek bule imut antara
9-15 tahun. Tak ada yang aneh dengan tampilan mereka. Pakaian bagus dan gayanya
pun seperti ABG kebanyakan yang harusnya masih asik main. Modusnya mepet-mepet
mengerubungi calon korban, sambil salah satu di antaranya (yang paling kecil)
pura-pura mengajak ngobrol sambil pasang senyum super manis. Personil lain akan
beraksi merogoh tas, lalu mengoperkannya ke tangan personil yang berdiri paling
jauh. Begitu sampai di pemberhentian selanjutnya, mereka langsung turun dan
menghilang. Semua hanya dalam waktu 1-2 menit saja. Lihai!
Korbannya malam itu adalah salah seorang anggota rombongan
saya dari Jakarta. Ya, saya berangkat ke Eropa mengikuti tur ala backpacker beranggotakan 15 orang (di
hari kedua perjalanan kami, saya memisahkan diri dari rombongan dan memilih
tinggal di Paris sendirian saat mereka melanjutkan perjalanan ke Swiss).
Rupanya, aksi gerombolan ABG ini bukan kali pertama. Karena itu, saat mereka
mulai mengerubungi kami di depan pintu kereta, seorang pria di belakang saya
mendadak berteriak-teriak ke arah kami dalam bahasa Perancis. Satu kata yang
bisa saya mengerti hanya “Girl” yang
ia ulang berkali-kali. Belakangan ketahuan maksudnya kira-kira “Awas, cewek-cewek itu copet"! Lah, mana saya ngerti?
Begitulah, singkat cerita saat para ABG itu turun, salah
satunya melemparkan dompet kosong yang ternyata milik salah seorang di antara
kami. Apes! Ironisnya, beberapa teman yang berdiri di dekat saya sebetulnya sudah
sadar bahwa cewek-cewek itu adalah copet, sayang infonya tidak sampai ke teman kami
yang kecopetan.
Kemudian dimulailah adegan macam di film-film.
Dalam hitungan detik setelah kawanan pencopet keluar, seorang perempuan di dekat kami langsung mengaku sebagai polisi. Karena tak memakai seragam, ia pun menunjukkan tanda pengenal macam KTP untuk meyakinkan kami. Dengan heboh ia memaksa kami
turun untuk membuat laporan supaya ia bisa menangkap kawanan pencopet tadi.
Dalam keadaan bingung dan panik, kami pun turun di stasiun berikutnya mengikuti
sang polisi yang langsung mengajak kami ke deretan bangku kosong di peron. Sambil menunggu sang polisi yang sibuk bertanya ini-itu dan mencatat, kami pun kasak-kusuk membahas langkah selanjutnya.
Tak lama, datang
seorang pria besar yang lagi-lagi mengaku sebagai polisi. Walaupun sama-sama tak berseragam, di lehernya tergantung semacam lencana polisi. Setelah ia berbincang sebentar dengan sang polisi perempuan, lagi-lagi
kami disuruh naik metro ke stasiun tertentu. Kali ini, mengikuti si polisi pria besar. Alasannya, mereka
sudah menangkap kawanan pencopet tadi dan meminta kami ikut untuk mendapatkan
kembali uang 200 Euro yang diambil. Bukannya girang, saya dan beberapa teman
lain justru kuatir melintir bahwa ini semua hanyalah bentuk lain penipuan
turis. Kalau para polisi ini ternyata bagian dari gerombolan pencopet itu gimana? Asli, parno abis!
Untunglah, kekuatiran kami tak terbukti. Setibanya di stasiun yang dimaksud, ternyata benar saja, para ABG tadi sudah duduk di bangku peron sambil dikerumuni sejumlah pria. Tak jelas juga apakah semua pria itu polisi atau bukan. Karena hukum di Perancis kesulitan menjerat anak-anak di bawah umur, jadi ya cewek-cewek ABG tadi (sepertinya) diomelin sambil disuruh mengembalikan uang yang dicuri. Di situlah pentingnya keberadaan kami, sebagai korban dan saksi. Ternyata mereka keukeh loh gak mau mengaku!
Akhirnya, interogasi alot itu berakhir dan uang pun kembali. Drama usai, kami langsung melanjutkan perjalanan. Satu yang tertinggal di kepala saya: dengan celah hukum macam itu, pantas saja marak fenomena geng copet anak-anak di Paris. Apa gak pusing ya para polisi itu berkali-kali menangkap kawanan yang sama tapi tetap tak bisa menghentikan aksi mereka?
Moral of the story:
usahakan tak terlalu mencolok sebagai turis. Baiknya sih, tidak usah ngobrol
selama perjalanan, biar tidak ketahuan kalau kita ini turis. Ketahuan kan
kalau kita ngobrol pake bahasa Indonesia. Dan tentunya manfaatkan the power of credit card & ATM!
![]() |
Pose dulu sebelum naik metro menuju Montmartre. Cheers!
Photo Credit: Dicky Ferlanda
|
Kejadian satu itu memang tak ada romantis-romantisnya. Tapi sudahlah, saya tak rela terganggu gara-garanya.
Berhubung tak mudah mewujudkan perjalanan ke Eropa, alhasil, ketidakmujuran macam tadi tak akan mengurangi manisnya fakta bahwa saya sampai juga di Paris. Bahkan bisa dibilang kemalangan tersebut justru mempermanis romansa petualangan saya!
Makin manis pula, saat beberapa hari kemudian tak sengaja duduk sebelahan dengan
orang Indonesia di metro. Sekali-kalinya ketemu dan berkenalan dengan orang setanah air, ternyata rumahnya di Jakarta tak jauh dari komplek saya, plus tetanggaan pula dengan dokter gigi saya.
Duh, sempit amat ya dunia!
No comments:
Post a Comment