20 April 2014

Piknik Romantis di Pemakaman Pere Lachaise

| Bagian 2 #Eurotrip, Maret 2014 |

“Ke kuburan yuk Neng”
“Takut ah Bang..”
"......"

--Percakapan ini hanyalah rekaan

Entah mengapa, tiba-tiba saya teringat sebuah potongan adegan tipikal film-film komedi horor Indonesia. Adegan pacaran di kuburan yang biasanya mengawali kemunculan dramatis tokoh yang ditunggu-tunggu: makhluk halus, jadi-jadian dan sejenisnya.

Andai saja Indonesia punya Cimetiere du Pere Lachaise, mungkin Abang dan Eneng bisa pacaran dengan damai.

---------

Komplek pemakaman memang bukan pilihan yang langsung terlintas saat memikirkan lokasi romantis untuk piknik bersama pasangan. Tapi, Cimetiere du Pere Lachaise bukanlah komplek pemakaman biasa.



Kerap disebut “la cite des morts” (the city of the dead), Pere Lachaise merupakan area pemakaman terbesar di Paris. Lokasinya dikenal sangat cantik dan berisikan makam orang-orang terkenal di dunia, mulai dari pahlawan perang, filsuf, penyair, musisi, aktor, hingga politikus. Tak heran, setiap tahunnya ada jutaan turis berkunjung. Layaknya objek wisata lain, bahkan di sini pun tersedia guided walking tour!

Jumat, 21 Maret 2014

Melihat Paris bermandikan sinar matahari saya pun memutuskan membawa bekal makan siang dan bertolak ke Pere Lachaise. Misinya: piknik bersama the one and only Jim Morrison (vokalis The Doors), komponis besar Frederic Chopin, penyair legendaris Oscar Wilde, dan penyanyi kesayangan Perancis Edith Piaf (tidak dalam wujud sebenarnya tentunya). Seolah semesta berkonspirasi mendukung, siang itu pengunjung tak terlalu banyak, hingga saya pun bebas memilih spot terbaik untuk duduk menikmati makan siang sambil memanjakan mata.

Berjalan sedikit dari gerbang utama, pemandangan inilah yang saya temukan: taman melingkar dengan
bangku-bangku panjang. Spot sempurna untuk piknik makan siang!

Dan inilah yang tersaji di depan mata saat menikmati bekal makan siang. Belle!

Pemakaman yang dibuka tahun 1804 ini terletak di area berbukit seluas 44 hektar. Kabarnya, ada 1 juta orang yang dikubur di Pere Lachaise. Karenanya, bukan pekerjaan mudah untuk berkeliling dan menemukan makam-makam tertentu. Agar tak tersesat, jangan lupa membekali diri dengan peta/denah pemakaman yang bisa didapatkan gratis di conservation office yang terletak di dalam komplek. Karena tak mau repot mengambil, saya mencermati saja denah yang terpampang di papan dekat pintu masuk. Cukup difoto dengan kamera dan Voila! Saya pun punya peta.

Kiri: Makam Oscar Wilde. Dulu, dindingnya penuh cap bibir merah, penghormatan dari pengunjung. 
Kanan: Makam Jim Morrison yang selalu ramai sampai harus antri untuk mengambil foto.

Berbagai ornamen, patung dan monumen menghiasi hampir setiap makam,
termasuk patung binatang peliharaan (gambar kiri bawah)

Kiri: Kapel megah untuk penyelenggaraan upacara pemakaman.
Kanan: Columbarium atau gedung krematorium sekaligus lokasi penyimpanan abu. 

Rasanya seperti dikelilingi berbagai karya seni di museum
Berniat keliling tak lebih dari 2 jam, tak terasa 4 jam justru berlalu tanpa disadari. Patung-patung cantik, nisan-nisan besar bergaya gothic dan monumen-monumen megah berukiran rumit terhampar sejauh mata memandang. 

Dilihat dari ‘mewahnya’ makam-makam yang ada, wajar kalau berpikir Pere Lachaise adalah pemakaman bagi kaum berduit dan terkenal. 

Walaupun sebenarnya terbuka bagi siapa pun (kini syaratnya khusus bagi warga yang menetap dan atau meninggal di Paris), namun kabarnya selain harga setiap petak yang tak murah, ada waiting list panjang yang memakan waktu tunggu tak sebentar.

Semakin jauh menjelajah ke area komplek, jalannya semakin berliku dan menyempit. Karena sepi, saya bisa berlama-lama mengambil foto dan menikmati keheningan. Bahkan saking sepinya, terkadang saya berjalan sendirian untuk waktu yang lama tanpa berpapasan dengan siapa pun. Ah, kesunyian yang romantis!


Sinar matahari yang menerobos di antara pepohonan, nisan dan monumen makam
semakin menambah cantik pemandangan hari itu.

Now that's what I called a fine picnic at the cemetery.

Tapi tunggu, kurang lengkap bukan kalau tak ada sedikit drama dan perjuangan? J


---------------

“Hello. Are you a tourist? Do you speak English?”

"Eh..?" (kaget, mendadak ada yang nyamperin)

“Are you alone?”

"Emm..." (bingung mau jujur atau bohong)

“Where do you come from?”
(mulai curiga tapi agak tergoda kegantengannya)

“Can I walk with you? We can go together..”
(perasaan langsung gak enak)
#kemudiankabur
Itu terjadi sesaat setelah saya melewati gerbang masuk utama. Seorang cowok bule menghampiri dan menyapa ramah. Kenapa saya memilih kabur? Semua gara-gara satu episode Scam City--serial TV di NatGeo tentang beragam aksi penipuan turis--yang pernah saya tonton. Episode itu membahas aksi para cowok pervert di Roma yang mendekati turis-turis cewek sendirian demi mendapatkan one night stand. Tak hanya di Roma, aksi ini banyak terjadi di kota lain di Eropa, termasuk Paris. Modusnya dimulai dari ngobrol santai, kenalan, ngopi bareng di kafe dan berlanjut dengan ajakan ke rumah si cowok (biasanya mereka menghindari mentraktir makan di restoran supaya tidak terlalu rugi kalau ternyata target gagal diajak ke ranjang).
Nah, pelaku yang diwawancara di episode tersebut mengaku aksinya sudah berhasil menjerat lebih dari 100 cewek. Kok bisa? Menurutnya, banyak turis cewek yang terbuai romansa kota (Paris dan kota-kota di Italia jelas punya reputasi kota paling romantis). Bisa berkenalan dengan cowok lokal (baik dan ganteng pula) yang berlanjut dengan one night stand secara spontan dianggap sangat romantis seperti di film-film.

Ah…lebih baik kabur saja!
Lepas dari cowok di pintu masuk, saya menjelajah hingga jauh ke dalam komplek pemakaman. Satu waktu saya menyadari ada seorang bapak bermantel panjang, bertopi ala pelukis dan berkacamata hitam yang terus berada di belakang saya selama setengah jam terakhir. Turis? Rasanya bukan karena ia tak terlihat membawa kamera. 
Gorgeously creepy. Tapi rupanya
lebih creepy di-stalking orang di kuburan!
Curiga dan mulai waspada, saya pun langsung mencari keberadaan turis-turis lain. Sayangnya agak sulit karena sudah terlalu jauh dari keramaian. Akhirnya, tiap kali menemukan orang lain, saya akan mengikutinya untuk beberapa lama. Secara keseluruhan, saya sempat mengekor sekelompok turis dari Timur Tengah, kemudian beralih ke seorang pekerja yang sedang membersihkan makam, hingga sepasang turis yang sebentar-sebentar berhenti untuk berciuman. Oh well….
Hasilnya? Saya justru tersesat!
Yang membuat semakin panik: sang bapak seolah menghilang entah kemana tiap kali kami berpapasan dengan turis lain, dan mendadak muncul di saat saya kembali sendirian! Ah, ini baru sebenar-benarnya stalker alias penguntit (versi di dunia nyata, bukan lagi dunia maya). Untunglah setelah 30 menit-an berjalan cepat sambil komat-kamit berdoa, saya berhasil menemukan rute awal dan langsung kembali ke keramaian. Hore! Sejurus kemudian, saya pun tak melihatnya lagi.
-----------
Moral of the story? Forget stereotypes.
Yang namanya komplek pemakaman lekat dengan kesan angker, apalagi di Indonesia. Sarangnya makhluk halus pengganggu manusia dan lokasi paling mantap buat tantangan uji nyali macam Dunia Lain. Stereotip yang diwariskan turun-temurun dalam legenda, buku cerita dan film.
Di Pere Lachaise? Lupakanlah stereotip. Buat saya, komplek pemakaman ini wajib dikunjungi dan dinikmati, bukannya ditakuti dan dihindari. It’s indeed one of the most romantic places in Paris
Dan ternyata, bukan makhluk halus yang menguji nyali saya di sana. Sebaliknya, makhluk hidup bernama manusia dari jenis tak jelas. Ha!
Pada akhirnya, yang terpenting adalah misi piknik tercapai! Sedikit drama dan perjuangan setidaknya membuat kunjungan hari itu sebuah petualangan tak terlupakan.

Berani? J

***

No comments:

Post a Comment