Pernah menyesali sebuah perjalanan gara-gara komentar tak enak dari orang lain?
"Kok gak masuk sih ke Museum Louvre? Belum sah tuh ke Paris-nya"
"Tanggung amat, masak ke Eropa gak ke banyak negara sekaligus?"
"Gak seru banget jalan sendirian, foto-fotonya dikit dong"
"Kok gak masuk sih ke Museum Louvre? Belum sah tuh ke Paris-nya"
"Tanggung amat, masak ke Eropa gak ke banyak negara sekaligus?"
"Gak seru banget jalan sendirian, foto-fotonya dikit dong"
Eh?
Jujur saja, saya kagum dengan banyak dan beragamnya komentar ajaib sejenis ini di luar sana.
"Bukannya [nama negara/kota] biasa aja ya? Gak menarik kayaknya"
"Rugi banget belanjanya gak di [nama pasar super jauh]. Terkenal murah tuh!"
"Ngapain pake tour organizer segala, urus sendiri dong kayak [nama travel writer kondang]"
"Bukannya [nama negara/kota] biasa aja ya? Gak menarik kayaknya"
"Rugi banget belanjanya gak di [nama pasar super jauh]. Terkenal murah tuh!"
"Ngapain pake tour organizer segala, urus sendiri dong kayak [nama travel writer kondang]"
Tuh kan.....
Sesungguhnya saya tak pernah paham maksud dan tujuan dari komentar-komentar yang gak ada matinya ini.
Kritik membangun kah? (Kan supaya lo tahu dan gak salah ambil keputusan ke depannya)
Penasaran pengen tahu? (Jelasin dong alasannya, biar gue ngerti)
Atau basa-basi belaka? (Ah, gak maksud apa-apa..cuma komentar doang)
Entahlah.
Yang pasti, sesempurna apa pun sebuah perjalanan yang kita lakukan, selalu ada orang yang bisa dan akan menunjukkan 'kekurangan' dan 'kesalahan' yang sudah kita buat.
Harusnya tak perlu dipusingkan memang. Tapi bayangkan jika komentar itu datang silih berganti, dari entah-siapa-saya-tak-kenal-dekat sampai teman bahkan keluarga sendiri. Bagaikan bertemu serombongan makhluk Dementor, kebahagiaan saya rasanya tersedot dalam sekejap!
Masa sih saya harus membela diri dan menjelaskan semua pilihan (terencana atau pun spontan) yang saya ambil dalam sebuah perjalanan, padahal tak ada kaitannya sama sekali dengan hajat hidup mereka yang berkomentar?
Ah, apakah ini salah satu model travel-shaming yang umum terjadi di keseharian kita?
----------------
Belakangan, di media sosial muncul istilah "Travel-shaming".
Disimpulkan dari berbagai sumber, penjelasannya kurang lebih:
"Merendahkan, menjatuhkan atau membuat orang lain merasa bersalah (secara halus maupun terang-terangan) karena tidak melakukan perjalanan ke tujuan populer dan/atau dengan cara-cara tertentu yang berlaku umum"
Dalam keseharian, travel-shaming muncul beragam, mulai dari kecaman keras, cemoohan, sindiran, hingga lelucon ringan.
Kritikan pedas dan kecaman keras biasanya dilayangkan bagi turis yang perilakunya dinilai telah mengganggu, melanggar norma, atau hukum. Di media sosial misalnya, banyak yang menggunakan #TravelShaming (kemudian beranak menjadi #PassengerShaming) dan menggunggah foto-foto candid para turis yang tertangkap basah sedang menaikkan kaki seenaknya ke kursi pesawat, membentak pramugari, menyerobot antrian atau membuang sampah sembarangan.
Mungkin, fenomena ini diawali semangat menebarkan virus 'how to travel responsibly' yang sungguh saya dukung sepenuh hati! Harapannya, sedikit kecaman dan efek malu bisa membawa perubahan sikap.
Di sisi lain, travel-shaming pun bisa muncul dalam bentuk sindiran halus berbalut humor seputar perilaku dan kebiasaan para turis yang dianggap aneh, norak atau berlebihan. Misalnya saja pembahasan seputar aksi turis yang terobsesi selfie; mulai dari pose ala duck face, hot dog legs, hingga pose-pose ajaib lainnya. Untuk jenis yang ini, batas bercanda dengan mencela memang agak kabur.
Sayangnya, disadari atau tidak, travel-shaming bisa jadi ajang mencela semata. Kalau kata seorang teman: just for the sake of being sinis! J
Topiknya pun merembet ke mana-mana. Terutama, seputar gaya traveling yang sesungguhnya perkara selera, karakter, mood, ketersediaan waktu dan dana tiap-tiap orang. Komentar sinis, sindiran dan cemoohan dilayangkan, walaupun tiada hukum yang dilanggar dan tiada seorang pun yang dirugikan.
Ya, tulisan ini khusus dipersembahkan untuk model travel-shaming jenis terakhir.
- Eh, salah ya kalau saya gatel jalan-jalan ke tempat lain daripada antre berjam-jam buat masuk ke Louvre?
- Maaf ya, kamu pasti kesel banget saya gak keliling Eropa sekalian cuma gara-gara pengiritan..
- Harus banget ya bela-belain pergi jauh ke pasar termurah, padahal saya gak niat belanja?
(Nah kan..komentar sinis biasanya melahirkan jawaban sinis juga!)
Pada akhirnya, sebuah perjalanan sangatlah personal dan situasional.
Jadi, kenapa harus sinis?
Ah, mungkin kita sudah terlalu terbiasa mendengar komentar-komentar tersebut, hingga kerap lupa bahwa mungkin kita sudah kebablasan melakukan travel-shaming. Percayalah, saya pun pernah kebablasan. Ehm...salahkan diri ini yang suka mendadak pasif agresif dan sinis ☮
Maka beruntunglah kalau kita masih memiliki mereka yang ikut terkekeh mendengarkan 'ketidaksempurnaan' perjalanan kita.
Mereka yang memilih untuk tidak mengecilkan, merendahkan, apalagi menyalahkan pilihan seseorang dalam menikmati sebuah petualangan.
Daripada #TravelShaming, lebih baik #TravelSharing bukan? Mari berbagi cerita perjalanan untuk dinikmati, bukan dihakimi.
Happy traveling, All!
***
No comments:
Post a Comment