| Bagian 2 #MacauHKtrip, Januari 2013 |
31 Januari
Berbekal optimisme (pengharapan diri lebih tepatnya) dijauhkan dari mabuk laut, dengan semangat ‘66 saya pun memasuki kabin turbo jet di Kamis pagi cerah ceria yang akan membawa kami dari Macau menuju Hong Kong. Hari itu seluruh kursi di dalam ferry terisi penuh, tertutuplah kesempatan untuk melakukan posisi semi berbaring seperti pengalaman dari Hong Kong menuju Macau. Semangat!
Setengah jam pertama sukses dilewati, cenderung nyaman bahkan. Sandaran kursi penumpang terasa pas di punggung, kondisi ombak bersahabat dan suasana di kabin relatif sepi karena sebagian besar penumpang memilih tidur. Apa daya memasuki setengah jam kedua, perut mulai berontak, keringat dingin dan pusing menerpa. Musik di telinga pun tak lagi membantu menenangkan.
Sebagai informasi, sebetulnya saya sangat menikmati perjalanan laut dengan kapal bermesin, dengan syarat: hanya dan hanya jika selama perjalanan saya dapat merasakan angin dan tak terjebak dalam ruang tertutup. Lain halnya dengan ferry yang melayani rute PP Hong Kong-Macau. Di sini, seluruh penumpang harus duduk tenang di dalam ruangan tertutup ber-AC. Hasilnya...seasickness strikes back! Sial!
Ritual tiap kali keluar dari pesawat atau ferry: bergegas mencari toilet! Setelah urusan di toilet terselesaikan dan dengan cueknya duduk melantai sebentar sembari menanti teman mempelajari peta menuju hotel, kami pun melangkah keluar ke peradaban. Akhirnya kami pun kembali ke realita: hiruk pikuk khas kota metropolitan. Welcome to Hong Kong!
Dan ya, tak semudah itu ternyata menemukan hotel kami yang menurut google map dekat dari terminal ferry. Setelah berputar-putar, bolak-balik, mengeluh dan menyumpah sana-sini sambil menatap nanar jalanan super ramai dengan deretan kios, kami sampai juga di hotel yang ternyata memang tak terlalu jauh. Ha! Maksud hati dan perut (mual gila-gilaan) ingin langsung tidur saja di hotel, tapi mengingat kami hanya punya waktu hingga esok siang di Hong Kong, mau tak mau saya pun menyeret kaki untuk keluar.
Setengah hari di Hong Kong, jauuuuuuhhh sekali dari cukup untuk berkeliling kota. Pastinya. Akhirnya, mentok dengan lokasi-lokasi turis yang pasti muncul setiap melakukan pencarian di google. Kali ini, kami tak mau terlalu ambisius menyambangi banyak tempat, toh waktu dan tenaga belum tentu memungkinkan.
Tujuan pertama: The Peak. Begitu sampai dan mengantri The Peak tram yang akan membawa kami naik, langsung terasa aura taman hiburan macam TMII atau Dufan. Sayup-sayup di antara lautan manusia yang mengantri terdengar obrolan dalam bahasa Indonesia dari berbagai arah. Eh, ini beneran di Dufan ya?
![]() |
Met the coolest pirate of all. I mean, dude. |
Perjalanan naik tram dengan kemiringan 45 derajat itu lumayan menarik, sayang terlalu sebentar. Di atas, tak banyak hiburan, selain mengunjungi museum lilin Madame Tussauds yang sayangnya juga tak terlalu besar. Semua yang ke Hong Kong rasanya pasti punya foto diri bersama patung-patung di sini. Niat awal, tak berminat ikut-ikutan semua pengunjung yang ketebak heboh berfoto dengan semua patung yang ada, tapi ya sudahlah ya..toh sudah di sana, kepalang tanggung. Setelah berfoto dengan patung ketiga, ketebak…mulai mati gaya. Mau gaya seru apalagi? DILEMA.
Perjalanan selanjutnya (drum roll)…mal! Keinginan berburu tempat-tempat makan recommended yang didapat dari hasil googling terpaksa diurungkan karena bepergian dari 1 tempat ke tempat lain di sini jelas tak semudah dan secepat bepergian di Macau. Kotanya besar, metronya lumayan ribet dan enggan rasanya menghabiskan waktu mencari-cari alamat. Perjalanan pun dilanjutkan ke Victoria Harbour dan Avenue of Stars. Untuk yang satu ini saya lumayan antusias. Laut!
Kami tiba sekitar setengah jam sebelum dimulainya show Symphony of Lights yang masuk kategori must see kata Google. Eh, iya kah? Buat saya sih yang akhirnya berhasil nyempil duduk di pinggir laut di antara entah berapa ratus orang yang berjubel itu, show-nya biasaaaa betuuulll. Overrated! Entahlah, mungkin dulunya keren kali yaa..tapi malam itu kok permainan lampu-lampunya tak istimewa. Jauh lebih istimewa pertunjukan dancing fountain di Citizen Park Kolkata, India (hohoo..musik India-nya pun sungguh membiusku)
Menyusuri Avenue of Stars ketika pengunjung masih berjubel bukanlah ide yang bagus apalagi bijak. Untungnya saya hobi melihat air dan lampu-lampu kota. Duduk berjam-jam di sana ditemani angin malam dan kopi sudah lebih dari cukup buat saya. Semakin malam saat pengunjung mulai sepi, justru semakin banyak orang yang jogging. Ah, olahraga malam di harbour memang ide sangat menggiurkan! Namun, target utama malam itu adalah berfoto dengan patung Bruce Lee. Yup, sesederhana itu ambisi teman saya saat di Hong Kong. Kesimpulannya sih, ajaklah teman Anda yang memang tahu dan terobsesi dengan film-film Hong Kong untuk semakin menikmati area ini. Setelah pengunjung semakin sepi, misi pencarian dan foto-foto pun dimulai!
![]() |
Lima spot yang jarang sepi pengunjung |
![]() |
An homage to the legend. Bruce Lee |
Tak banyak memang yang dilihat dan dirasakan di Hong Kong dalam waktu sependek itu. Untungnya, walaupun banyak yang bilang keramahtamahan adalah barang agak langka di negara ini, tapi hal itu tak menjadi highlight dalam kunjungan singkat saya yang penuh ketergesa-gesaan. Kalau di restoran atau kedai lokal mungkin memang jangan berharap banyak, tapi kondisi sebaliknya terjadi di stasiun MTR (metro di Hong Kong).
Perpaduan lupa dan clumsy, entah berapa kali saya tidak mengambil kembali kartu MTR setiap kali memasukkannya di mesin saat melewati barikade-entah-apa-itu-namanya untuk masuk/keluar area dalam stasiun. Dan tiap kali itu pula, ada saja yang menyusul dan memberikannya kepada saya (teman: “Ya iyalah, dia kan di belakang lo..mau gak mau kartunya gak keluar karena ada kartu lo..”).
Termasuk saat pertama kali membeli tiket secara otomatis di mesin, mendadak ada yang membantu tanpa diminta (teman: “Itu sih mereka aja yang gak sabar sama kita, lama banget sih mau beli tiket aja..”).
Yang ajaib, di interchange station, setelah turun dari kereta dan sedang mencari jalur kereta selanjutnya, seorang bapak tua yang berpapasan dengan kami mendadak berhenti dan bertanya “Can I help you?” sampai 3 kali karena kami tak sadar (dan agak takjub tak percaya) ia sedang menawarkan bantuan.
“Eh, emang tampang kita segitu bingungnya ya?"
"Entahlah.."
"Padahal kan tampang lo kayak orang lokal. Langsung diajak ngomong bahasa Inggris pula, tumben!"
“Iya nih. Berarti gue ketahuan bukan orang sini gara-gara jalan sama lo! Ketahuan deh kita turis Indonesia..”
“Eh sial!”
Faktanya memang MTR di Hong Kong tak sesederhana Singapura dan Bangkok. Pindah kereta di interchange station sama dengan berjalan lumayan jauh. Bahkan, seharusnya ada peringatan tertulis di setiap peta MTR yang menerangkan betapa jauh dan melelahkannya berjalan antara stasiun Tsim Sha Tsui dan East Tsim Sha Tsui melalui pedestrian subway! Di Jakarta, jarak sejauh itu rasanya sih pilihannya angkot atau ojek, buat saya. Terlepas dari itu, setiap perjalanan dengan metro selalu menjadi hal yang saya nanti-nanti. Dan ya, bikin iriiiiii!!
Overall…it’s a good thing memadukan Hong Kong dengan Macau. Negara pertama sangat ramai, penuh ketergesa-gesaan dan hiruk pikuk metropolitan, sedangkan negara kedua cenderung sepi, tenang dengan laju keseharian warganya yang berjalan lambat. Andai saja keduanya tak perlu melibatkan perjalanan ferry.
***
No comments:
Post a Comment